Film Avengers: Infinity War mengisahkan Thanos, seorang tokoh antagonis yang menjadi momok bagi para jagoan Marvel. Tidak ada satu pun anggota Avengers yang bisa menghentikan aksi Thanos ini. Selama 2,5 jam film ini menceritakan bagaimana Thanos berjuang mengumpulkan infinity stone satu per satu yang berjumlah 6 buah. Ketika seluruh batu itu terkumpul, maka apa pun keinginan dari pemegangnya akan dikabulkan hanya dengan satu jentikan jari. Di akhir film, diceritakan bagaimana Thanos duduk tersenyum setelah mendapatkan seluruh batu. Ia telah menjentikkan jari dan keinginannya telah terkabul.
Sebenarnya apa keinginan si Thanos ini? Dengan infinity stones, Thanos hendak melenyapkan setengah penduduk dari alam semesta! Tidak peduli kaya atau miskin, tua atau muda, cakap atau jelek, kuat atau lemah, setengah penduduk dilenyapkan seketika oleh Thanos. Keunikan cerita ini adalah karakter Thanos yang tidak terlihat memiliki ambisi egois. Ia tidak mencari kekayaan, popularitas, kuasa, dan lain-lain. Ia melakukan hal ini hanya karena satu tujuan yaitu untuk suatu misi penyelamatan dunia! Ia melihat bahwa alam semesta ini menghadapi suatu bahaya yang gawat, yaitu overpopulation. Sumber daya yang terbatas di alam semesta tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup yang bertambah semakin banyak. Hal ini jika dibiarkan akan menyebabkan kematian bukan hanya pada segelintir makhluk, melainkan juga bagi seluruh alam semesta. Thanos sudah mengalami malapetaka ini di planetnya. Ia mengusulkan ide untuk memusnahkan setengah penghuni planetnya. Namun, ia dianggap gila oleh banyak orang di planet kelahirannya. Hasilnya, tempat tinggal Thanos hancur tak bersisa. Dia adalah salah satu dari segelintir orang yang selamat dari kehancuran tersebut.
Thanos bukanlah tokoh antagonis biasa. Ia memiliki misi yang “mulia”, hanya saja orang sekitarnya tidak bisa melihat “kebenaran” itu dan menganggapnya gila. Thanos dihina, diolok-olok, dan tidak dipandang, padahal ia membawa suatu misi penyelamatan dunia. Yang lebih mengesankan lagi, Thanos juga memiliki seorang anak tunggal yang sangat ia kasihi, yaitu Gamora. Dalam cerita ini, salah satu infinity stone yang harus dikumpulkan adalah soul stone. Bagaimana cara mendapatkannya? Batu ini hanya bisa diperoleh dengan jalan mengorbankan orang yang sangat dikasihi. Maka demi keselamatan seluruh dunia, dengan cucuran air mata yang sangat berat, Thanos menangkap Gamora yang dengan kuat meronta-ronta ingin melepaskan diri. Thanos membawanya ke pinggir tebing, lalu mendorongnya sebagai korban demi memperoleh soul stone. “Karena begitu besar kasih THANOS akan dunia ini, sehingga ia telah mengaruniakan anaknya yang tunggal, GAMORA..”Itulah kalimat yang cukup tepat untuk bagian kisah ini.Misi penyelamatan Thanos dapat kita katakan sebagai perjuangan di dalam “pengorbanan demi kebaikan banyak orang”. Inilah tema yang cocok diberikan bagi Thanos. Nampaknya tema ini cukup familier bagi kita sebagai orang Kristen. Namun, apakah kisah keselamatan Thanos dapat dilihat sama dengan kisah keselamatan yang dikerjakan oleh Tuhan Yesus? Terkadang kita perlu mengkaji perbedaan di tengah sesuatu yang terlihat sama, agar kita tidak terjebak di dalam hal yang superfisial. Pada artikel ini, saya akan mencoba untuk menarik beberapa poin yang bisa kita jadikan bahan komparasi dan perenungan.
The End Justifies the Means
Sebelum masuk ke masalah pengorbanan, kita coba lihat dahulu masalah etika yang dikenal sebagai “the end justifies the means”. Konsep ini sering diartikan sebagai berikut: segala cara dihalalkan demi mencapai tujuan yang biasanya dianggap sebagai sesuatu yang baik atau mulia. Salah satu kisah cerita yang terkenal pada masa kecil adalah Robin Hood. Supaya orang miskin bisa makan, maka ia mencuri dan merampas harta orang-orang kaya lalu membagikannya kepada orang miskin. Ini adalah contoh dari konsep the end justifies the means. Demi mencapai tujuan yang mulia, segala cara dihalalkan.
Konsep ini sering kali digunakan dengan menempatkan hukum di dalam tangan manusia. Ini adalah suatu kebahayaan. Masalah pertama adalah: apa atau siapa yang menentukan tujuan yang ingin dicapai itu mulia atau tidak mulia? Bagaimana dengan orang-orang yang menganggap ambisi dirinya sendiri adalah sesuatu yang mulia? Celakanya mereka menghalalkan segala cara demi mendapatkannya. Seperti puisi W. S. Rendra:
Kenapa maksud baik tidak selalu berguna.
Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga.
Orang berkata, “Kami ada maksud baik.”
Dan kita bertanya: “Maksud baik untuk siapa?”
Dalam kasus-kasus tertentu, ini adalah masalah yang tidak mudah ditentukan sebagai tindakan yang baik atau tidak. Apakah ini sebuah ambisi atau tindakan yang benar-benar tulus? Bukankah banyak kasus kejahatan dilakukan atas nama kebaikan dan tujuan yang mulia?
Masalah kedua muncul sebagai lanjutan dari masalah pertama. Pemegang konsep the end justifies the means akan menjadi orang yang menghalalkan segala cara! Mereka akan dengan jagonya merasionalisasikan segala tindakannya. Dia anggap tujuannya itu lebih layak dicapai meskipun orang lain harus menderita dan membayar harga yang mahal. Semua bisa dilakukan asalkan atas nama “kebaikan”. Tidak heran dalam mode seperti ini pengejaran akan power dan aksi penindasan itu laris di mana-mana. Misalnya kita pernah mendengar kasus bangsa Sparta yang ingin mendirikan suatu negara yang kuat dan aman. Untuk mencapai hal itu, mereka melakukan praktik pembantaian bayi-bayi yang dilahirkan dalam kondisi lemah. Mereka berpikir jika Sparta membuang orang-orang lemah dan hanya diisi oleh orang-orang kuat dan terpilih, maka Sparta akan menjadi negara yang tidak terkalahkan. Tidak sedikit yang memakai cara-cara seperti manipulasi, propaganda, penindasan, dan sebagainya demi kepentingan atau tujuan pribadi atau golongan sendiri.
Bahkan ketika tujuan yang mau dicapai itu dianggap tidak salah atau benar-benar secara objektif baik, bukan berarti kita dapat menghalalkan segala cara. Kadang masalah itu timbul juga bukan karena tujuannya yang salah, tetapi caranya yang salah. Sekadar punya niat atau tujuan baik saja tidak cukup, karena itu berarti kita gagal melihat solusi yang tepat bagi permasalahan yang ada, sehingga cara yang diambil itu salah. Melihat problem ini, kita harus sadar bahwa pembenaran suatu etika tidaklah selalu dari tujuan yang membenarkan cara. Tuhan menuntut ketaatan dan pertanggungjawaban kita dalam keduanya, baik tujuan maupun cara. Dalam Alkitab kita melihat Paulus mengecam konsep melakukan hal yang buruk supaya yang baik bisa dihasilkan (Rm. 3:8). Ketaatan kepada hukum Tuhan seharusnya menjadi pedoman bagi tindakan etika kita. Dengan dasar ini kita akan coba melihat kepada kasus etika Thanos. Kita akan melihat secara sederhana dan singkat, cerita apa yang ia hidupi sehingga ia mengambil cara atau metode seperti demikian.
Thanos, berdasarkan pengalamannya, melihat suatu masalah overpopulation dalam dunia ini. Masalah ini memang real ada. Dari kisah penciptaan, kita tahu bahwa Allah menciptakan dunia ini sungguh amat baik. Namun masalah muncul ketika manusia tidak lagi menjalankan hukum-hukum Allah. Kelaparan tidak disebabkan oleh kurangnya sumber daya. The United Nations’ Food and Agriculture Organization melaporkan bahwa makanan di dunia ini sebetulnya lebih dari cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan makanan penghuni bumi ini. Permasalahan bukan pada kekurangan sumber daya atau kelebihan jumlah populasi, melainkan kegagalan dalam distribusi. Mafia-mafia yang korupsi, pemimpin negara yang korup, konsumerisme yang berlebihan, dan keserakahan segelintir orang yang berkuasa telah merampas dan menghambat pemerataan kesejahteraan pangan di berbagai tempat. Ada yang pernah mengatakan kalau seluruh penduduk dunia memiliki tingkat konsumsi sebesar rata-rata tingkat konsumsi penduduk di Amerika, maka diperlukan bola dunia sebanyak 3 buah untuk mencukupinya.
Banyak hal lain yang bisa dikaji seperti dari aspek kepadatan penduduk, masalah kriminalitas, dan lain-lain, yang kalau kita kaji kembali, sebetulnya permasalahannya terletak pada keegoisan hati manusia. Solusi bagi hal ini tentu bukan dengan langkah ekstrem Thanos yang menghabisi separuh penduduk dunia dengan mengatasnamakan jalan keselamatan. Solusi ini tidak tepat sasaran meskipun terlihat cepat dan mudah tindakannya.
Pandangan seperti ini sering kali juga kita hidupi dalam keseharian. Kita memandang dunia sebagai sesuatu yang rusak pada dirinya sendiri, lalu kita mengambil solusi-solusi yang justru makin menambah kerusakannya, tanpa menyadari kalau diri kita sendiri yang adalah sumber masalahnya. Memang banyak konflik yang muncul tidak sejelas kesalahannya seperti contoh Thanos di atas. Oleh karena itu kita perlu membuka ruang dialog untuk sama-sama tunduk di bawah hukum Allah dan secara rendah hati menyediakan ruang bagi yang lain untuk bergumul dan bertumbuh. Ini semua membutuhkan firman Tuhan sebagai cermin yang menelanjangi serta pelita yang menuntun hidup kita, karena sering kali kita dibutakan oleh ambisi diri, dan tidak peka akan kesalahan kita. Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku (Mzm. 119:105).
Kurban vs Korban
Sekarang, bagaimana dengan kasus korban-korbanan si Thanos? Dalam dunia berdosa ini memang sering kali membutuhkan harga yang harus dibayar untuk mencapai sesuatu. Demi mencapai sesuatu, ada yang harus dikorbankan. Sering kali yang manusia berdosa lakukan adalah mengorbankan orang lain supaya idealismenya atau impiannya terwujud. Seperti yang sudah kita bahas di atas, tujuan sering kali dijadikan pembenaran dalam mengorbankan orang lain. Dalam bahasa Indonesia ada istilah kurban yang maknanya lebih dekat kepada seseorang atau sesuatu yang tidak berdaya, tidak bisa melawan, tidak punya hak apa-apa, lalu kemudian dijadikan tumbal untuk dipersembahkan kepada yang lebih tinggi. Dia adalah objek penderita dari seorang atau sekelompok subjek tertentu.
Dalam cerita Avengers, kita melihat dengan jelas bahwa Gamora adalah kurban. Dia dipaksa oleh Thanos untuk dijadikan tumbal dalam menggenapi misi keselamatan. Apa daya karena kalah kekuatan, Gamora berhasil dikurbankan. Dia hanya bisa pasif dan pasrah, tidak punya kebebasan apa-apa. Dia victim dan hanya menjadi objek secara total. Sangat berbeda dengan gambaran Yesus di dalam Yesaya 53:7, Dia dianiaya, tetapi Dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulut-Nya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, Ia tidak membuka mulut-Nya. Ada sebuah kerelaan di sini, “Ia membiarkan diri-Nya.” Meski kita tahu bahwa Tuhan Yesus memiliki kekuatan untuk memanggil ribuan malaikat menolong-Nya saat ditangkap, tetapi itu tidak dilakukan-Nya. Di sini Dia menjadi “Subjek yang berkorban”. Sang korban itu secara aktif dan bebas mengorbankan diri-Nya demi orang lain. Ini suatu tindakan yang berbeda secara radikal.
Cerita apa yang kita hidupi? Thanos atau Yesus? Dalam Yohanes 15:12-13, Tuhan Yesus mendorong kita untuk hidup dalam kasih yang mengorbankan diri, seperti Dia sudah terlebih dahulu memberikannya kepada kita. “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.” Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya. Kita dipanggil untuk berkorban bagi yang lain. Berkorban di dalam kasih dan bukannya mengurbankan orang lain demi diri sendiri.
You Can Sacrifice and Not Love
Tema pengorbanan memang keren, tetapi menyimpan jebakan juga. Tema ini bisa membuat orang jahat pun terlihat cukup cute. Thanos meskipun mengorbankan orang lain, dia juga ada sisi berkorbannya juga lho. Dia sungguh-sungguh sayang sama Gamora dan dia rela, bahkan dengan air mata, mengurbankan Gamora demi keselamatan bersama. Dia sudah berkorban dengan tidak sedikit. Dia sudah kehilangan satu per satu pengikutnya yang paling setia. Ada yang beku menjadi es, terbelah, tertusuk, dan lain-lain. Thanos sudah berkorban banyak, dan pengorbanan ini dilakukan untuk kita semua. Namun, banyak orang masih menganggapnya penjahat. Bukankah kita yang menganggapnya orang jahat adalah orang-orang yang tega terhadap Thanos? Bukankah kita tidak sanggup melakukan pengorbanan seperti yang Thanos lakukan? Jika demikian, bukankah kita jauh lebih jahat dari Thanos dan apa hak kita mengatakannya jahat?
Namun, kita perlu berhati-hati. Kita bisa jatuh kepada konsep self-sacrifice justifies the means. Banyak orang suka bersembunyi dari kesalahan yang dilakukan dengan kedok pengorbanan. Melegalisasi kesalahan ataupun keinginannya di balik kedok pengorbanan. Pengorbanan bisa menjelma menjadi semacam jalan pembenaran diri dan bukannya tindakan kasih. Kris Vallotton mengatakan, “You can sacrifice and not love. But you cannot love and not sacrifice.”
Namun di dalam 1 Korintus 13:3 dikatakan, “Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikit pun tidak ada faedahnya bagiku.” Pengorbanan tanpa kasih itu sangat mungkin muncul sebagai sisi gelap dari tindakan pelayanan kita. Berapa sering kita terlalu cepat menganggap pelayanan kita kepada orang lain sebagai tindakan penyelamatan yang memang pasti dibutuhkan serta tepat? Sebagai penolong, tentunya kita memosisikan diri sebagai pihak yang benar. Tetapi apakah selalu demikian kondisinya? Apa ga bisa terbalik, kalau sesungguhnya kita yang perlu ditolong dari keangkuhan diri sendiri?
Hal-hal seperti ini biasanya dialami oleh orang-orang atau kelompok orang yang melayani dalam modus superioritas. Orang Kristen zaman sekarang mungkin banyak yang menduduki kalangan masyarakat menengah ke atas, hidup di kota besar, jadi bos-bos di perusahaan, memiliki gereja besar, dan sebagainya. Cara pandang superioritas ini bisa menjelma menjadi sisi gelap dalam pelayanan yang dilakukan. Kita bisa cenderung menjadikan orang atau kelompok lain sebagai objek-objek belaka. Mereka menjadi kurban tindakan pelayanan kita. Jika begini, sebenarnya siapa yang kita layani? Orang lain atau superioritas diri sendiri?
Berapa sering kita sungguh-sungguh mendengarkan orang yang kita layani dan menjadikan mereka subjek yang setara? Apakah kita juga berani memosisikan diri sebagai yang ditolong? Orang lain sebagai penolong kita? Tuhan memerintahkan kita untuk saling mengasihi, dan ini memosisikan bahwa diri kita juga harus memiliki kerendahan hati untuk bisa dilayani oleh orang yang lain, dan bahkan dikritik atau dikoreksi di dalam kasih. Dengan demikian kita akan terus mengoreksi dan merefleksikan diri. Apakah pengorbanan yang saya lakukan sungguh-sungguh melayani orang lain? Atau justru melayani konsep atau rencana saya sendiri yang saya anggap superior dan pasti benar? Apakah pelayanan yang saya lakukan sebenarnya adalah ajang untuk melayani pernyataan ide diri saya sendiri? Apakah misi penyelamatan dunia kita kepada orang lain itu sungguh-sungguh menyelamatkan dunia ataukah hanya menyelamatkan gengsi dan pride diri kita yang sok hero, sok signifikan, sok superior? Kiranya Tuhan menolong kita untuk lebih peka mendengar jeritan orang lain dan berani membuka diri untuk terus dikoreksi oleh-Nya.
Di sisi lain, kita juga bisa terus menaruh diri di posisi korban, sehingga kita merasa diri pasti benar. Kitalah korban dari oknum-oknum yang superior dan kita bangga menjadi pemeran korban sehingga ada pihak superior yang bersalah. Jika demikian, sesungguhnya kita sedang menghidupi filsafat postmodern di dalam pelayanan kita. Kita memakai pola berpikir dekonstruksionisme untuk diri menjadi benar, suatu cara pembenaran melalui dekonstruksi yang lain. Hal yang sederhana sering kita lihat di dalam keseharian kita, kita kenal dengan istilah bully. Dengan mendekonstruksi yang lain, diri ini terlihat menjadi lebih baik, lebih benar, lebih kasihan daripada si pemeran superior itu. Sesungguhnya kita tidak ada bedanya dengan pemeran superior tersebut, bukankah pola ini juga ada pada Thanos? Bukankah Thanos sebenarnya juga adalah korban? Dia korban idealisme yang ada pada dirinya, sambil menangis dia HARUS mengurbankan Gamora yang sangat dia kasihi. Bukankah sisi ini yang kita lihat dari Thanos dan akhirnya menyimpulkan dia tidak jahat? Jadi bagaimana seharusnya kita hidup?
Pada akhirnya kita harus sadar kalau kita dipanggil untuk setia kepada kebenaran Allah, berani tunduk di bawah kebenaran dan otoritas-Nya, serta rela dipakai Allah untuk membangun Kerajaan Allah melalui kebenaran-Nya, bukan kerajaan diri sambil mengatakannya untuk kemuliaan Allah. Jadi, pertanyaannya adalah etika kita berespons kepada apa atau siapa? Mari kita sekali lagi merenungkan etika hidup kita, apakah kita sesungguhnya sudah hidup merespons kepada Allah dan seturut dengan kehendak-Nya?