Rabu, 12 Januari 2022

Thanos vs Yesus Kristus

 Film Avengers: Infinity War mengisahkan Thanos, seorang tokoh antagonis yang menjadi momok bagi para jagoan Marvel. Tidak ada satu pun anggota Avengers yang bisa menghentikan aksi Thanos ini. Selama 2,5 jam film ini menceritakan bagaimana Thanos berjuang mengumpulkan infinity stone satu per satu yang berjumlah 6 buah. Ketika seluruh batu itu terkumpul, maka apa pun keinginan dari pemegangnya akan dikabulkan hanya dengan satu jentikan jari. Di akhir film, diceritakan bagaimana Thanos duduk tersenyum setelah mendapatkan seluruh batu. Ia telah menjentikkan jari dan keinginannya telah terkabul.

Sebenarnya apa keinginan si Thanos ini? Dengan infinity stones, Thanos hendak melenyapkan setengah penduduk dari alam semesta! Tidak peduli kaya atau miskin, tua atau muda, cakap atau jelek, kuat atau lemah, setengah penduduk dilenyapkan seketika oleh Thanos. Keunikan cerita ini adalah karakter Thanos yang tidak terlihat memiliki ambisi egois. Ia tidak mencari kekayaan, popularitas, kuasa, dan lain-lain. Ia melakukan hal ini hanya karena satu tujuan yaitu untuk suatu misi penyelamatan dunia! Ia melihat bahwa alam semesta ini menghadapi suatu bahaya yang gawat, yaitu overpopulation. Sumber daya yang terbatas di alam semesta tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup yang bertambah semakin banyak. Hal ini jika dibiarkan akan menyebabkan kematian bukan hanya pada segelintir makhluk, melainkan juga bagi seluruh alam semesta. Thanos sudah mengalami malapetaka ini di planetnya. Ia mengusulkan ide untuk memusnahkan setengah penghuni planetnya. Namun, ia dianggap gila oleh banyak orang di planet kelahirannya. Hasilnya, tempat tinggal Thanos hancur tak bersisa. Dia adalah salah satu dari segelintir orang yang selamat dari kehancuran tersebut.

Thanos bukanlah tokoh antagonis biasa. Ia memiliki misi yang “mulia”, hanya saja orang sekitarnya tidak bisa melihat “kebenaran” itu dan menganggapnya gila. Thanos dihina, diolok-olok, dan tidak dipandang, padahal ia membawa suatu misi penyelamatan dunia. Yang lebih mengesankan lagi, Thanos juga memiliki seorang anak tunggal yang sangat ia kasihi, yaitu Gamora. Dalam cerita ini, salah satu infinity stone yang harus dikumpulkan adalah soul stone. Bagaimana cara mendapatkannya? Batu ini hanya bisa diperoleh dengan jalan mengorbankan orang yang sangat dikasihi. Maka demi keselamatan seluruh dunia, dengan cucuran air mata yang sangat berat, Thanos menangkap Gamora yang dengan kuat meronta-ronta ingin melepaskan diri. Thanos membawanya ke pinggir tebing, lalu mendorongnya sebagai korban demi memperoleh soul stone. “Karena begitu besar kasih THANOS akan dunia ini, sehingga ia telah mengaruniakan anaknya yang tunggal, GAMORA..”Itulah kalimat yang cukup tepat untuk bagian kisah ini.Misi penyelamatan Thanos dapat kita katakan sebagai perjuangan di dalam “pengorbanan demi kebaikan banyak orang”. Inilah tema yang cocok diberikan bagi Thanos. Nampaknya tema ini cukup familier bagi kita sebagai orang Kristen. Namun, apakah kisah keselamatan Thanos dapat dilihat sama dengan kisah keselamatan yang dikerjakan oleh Tuhan Yesus? Terkadang kita perlu mengkaji perbedaan di tengah sesuatu yang terlihat sama, agar kita tidak terjebak di dalam hal yang superfisial. Pada artikel ini, saya akan mencoba untuk menarik beberapa poin yang bisa kita jadikan bahan komparasi dan perenungan. 

The End Justifies the Means 
Sebelum masuk ke masalah pengorbanan, kita coba lihat dahulu masalah etika yang dikenal sebagai “the end justifies the meansKonsep ini sering diartikan sebagai berikut: segala cara dihalalkan demi mencapai tujuan yang biasanya dianggap sebagai sesuatu yang baik atau mulia. Salah satu kisah cerita yang terkenal pada masa kecil adalah Robin Hood. Supaya orang miskin bisa makan, maka ia mencuri dan merampas harta orang-orang kaya lalu membagikannya kepada orang miskin. Ini adalah contoh dari konsep the end justifies the means. Demi mencapai tujuan yang mulia, segala cara dihalalkan.

Konsep ini sering kali digunakan dengan menempatkan hukum di dalam tangan manusia. Ini adalah suatu kebahayaan. Masalah pertama adalah: apa atau siapa yang menentukan tujuan yang ingin dicapai itu mulia atau tidak mulia? Bagaimana dengan orang-orang yang menganggap ambisi dirinya sendiri adalah sesuatu yang mulia? Celakanya mereka menghalalkan segala cara demi mendapatkannya. Seperti puisi W. S. Rendra:
Kenapa maksud baik tidak selalu berguna.
Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga.
Orang berkata, “Kami ada maksud baik.”
Dan kita bertanya: “Maksud baik untuk siapa?”

Dalam kasus-kasus tertentu, ini adalah masalah yang tidak mudah ditentukan sebagai tindakan yang baik atau tidak. Apakah ini sebuah ambisi atau tindakan yang benar-benar tulus? Bukankah banyak kasus kejahatan dilakukan atas nama kebaikan dan tujuan yang mulia? 

Masalah kedua muncul sebagai lanjutan dari masalah pertama. Pemegang konsep the end justifies the means akan menjadi orang yang menghalalkan segala cara! Mereka akan dengan jagonya merasionalisasikan segala tindakannya. Dia anggap tujuannya itu lebih layak dicapai meskipun orang lain harus menderita dan membayar harga yang mahal. Semua bisa dilakukan asalkan atas nama “kebaikan”. Tidak heran dalam mode seperti ini pengejaran akan power dan aksi penindasan itu laris di mana-mana. Misalnya kita pernah mendengar kasus bangsa Sparta yang ingin mendirikan suatu negara yang kuat dan aman. Untuk mencapai hal itu, mereka melakukan praktik pembantaian bayi-bayi yang dilahirkan dalam kondisi lemah. Mereka berpikir jika Sparta membuang orang-orang lemah dan hanya diisi oleh orang-orang kuat dan terpilih, maka Sparta akan menjadi negara yang tidak terkalahkan. Tidak sedikit yang memakai cara-cara seperti manipulasi, propaganda, penindasan, dan sebagainya demi kepentingan atau tujuan pribadi atau golongan sendiri.

Bahkan ketika tujuan yang mau dicapai itu dianggap tidak salah atau benar-benar secara objektif baik, bukan berarti kita dapat menghalalkan segala cara. Kadang masalah itu timbul juga bukan karena tujuannya yang salah, tetapi caranya yang salah. Sekadar punya niat atau tujuan baik saja tidak cukup, karena itu berarti kita gagal melihat solusi yang tepat bagi permasalahan yang ada, sehingga cara yang diambil itu salah. Melihat problem ini, kita harus sadar bahwa pembenaran suatu etika tidaklah selalu dari tujuan yang membenarkan cara. Tuhan menuntut ketaatan dan pertanggungjawaban kita dalam keduanya, baik tujuan maupun cara. Dalam Alkitab kita melihat Paulus mengecam konsep melakukan hal yang buruk supaya yang baik bisa dihasilkan (Rm. 3:8). Ketaatan kepada hukum Tuhan seharusnya menjadi pedoman bagi tindakan etika kita. Dengan dasar ini kita akan coba melihat kepada kasus etika Thanos. Kita akan melihat secara sederhana dan singkat, cerita apa yang ia hidupi sehingga ia mengambil cara atau metode seperti demikian.

Thanos, berdasarkan pengalamannya, melihat suatu masalah overpopulation dalam dunia ini. Masalah ini memang real ada. Dari kisah penciptaan, kita tahu bahwa Allah menciptakan dunia ini sungguh amat baik. Namun masalah muncul ketika manusia tidak lagi menjalankan hukum-hukum Allah. Kelaparan tidak disebabkan oleh kurangnya sumber daya. The United Nations’ Food and Agriculture Organization melaporkan bahwa makanan di dunia ini sebetulnya lebih dari cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan makanan penghuni bumi ini. Permasalahan bukan pada kekurangan sumber daya atau kelebihan jumlah populasi, melainkan kegagalan dalam distribusi. Mafia-mafia yang korupsi, pemimpin negara yang korup, konsumerisme yang berlebihan, dan keserakahan segelintir orang yang berkuasa telah merampas dan menghambat pemerataan kesejahteraan pangan di berbagai tempat. Ada yang pernah mengatakan kalau seluruh penduduk dunia memiliki tingkat konsumsi sebesar rata-rata tingkat konsumsi penduduk di Amerika, maka diperlukan bola dunia sebanyak 3 buah untuk mencukupinya.

Banyak hal lain yang bisa dikaji seperti dari aspek kepadatan penduduk, masalah kriminalitas, dan lain-lain, yang kalau kita kaji kembali, sebetulnya permasalahannya terletak pada keegoisan hati manusia. Solusi bagi hal ini tentu bukan dengan langkah ekstrem Thanos yang menghabisi separuh penduduk dunia dengan mengatasnamakan jalan keselamatan. Solusi ini tidak tepat sasaran meskipun terlihat cepat dan mudah tindakannya.

Pandangan seperti ini sering kali juga kita hidupi dalam keseharian. Kita memandang dunia sebagai sesuatu yang rusak pada dirinya sendiri, lalu kita mengambil solusi-solusi yang justru makin menambah kerusakannya, tanpa menyadari kalau diri kita sendiri yang adalah sumber masalahnya. Memang banyak konflik yang muncul tidak sejelas kesalahannya seperti contoh Thanos di atas. Oleh karena itu kita perlu membuka ruang dialog untuk sama-sama tunduk di bawah hukum Allah dan secara rendah hati menyediakan ruang bagi yang lain untuk bergumul dan bertumbuh. Ini semua membutuhkan firman Tuhan sebagai cermin yang menelanjangi serta pelita yang menuntun hidup kita, karena sering kali kita dibutakan oleh ambisi diri, dan tidak peka akan kesalahan kita. Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku (Mzm. 119:105).

Kurban vs Korban
Sekarang, bagaimana dengan kasus korban-korbanan si Thanos? Dalam dunia berdosa ini memang sering kali membutuhkan harga yang harus dibayar untuk mencapai sesuatu. Demi mencapai sesuatu, ada yang harus dikorbankan. Sering kali yang manusia berdosa lakukan adalah mengorbankan orang lain supaya idealismenya atau impiannya terwujud. Seperti yang sudah kita bahas di atas, tujuan sering kali dijadikan pembenaran dalam mengorbankan orang lain. Dalam bahasa Indonesia ada istilah kurban yang maknanya lebih dekat kepada seseorang atau sesuatu yang tidak berdaya, tidak bisa melawan, tidak punya hak apa-apa, lalu kemudian dijadikan tumbal untuk dipersembahkan kepada yang lebih tinggi. Dia adalah objek penderita dari seorang atau sekelompok subjek tertentu.

Dalam cerita Avengers, kita melihat dengan jelas bahwa Gamora adalah kurban. Dia dipaksa oleh Thanos untuk dijadikan tumbal dalam menggenapi misi keselamatan. Apa daya karena kalah kekuatan, Gamora berhasil dikurbankan. Dia hanya bisa pasif dan pasrah, tidak punya kebebasan apa-apa. Dia victim dan hanya menjadi objek secara total. Sangat berbeda dengan gambaran Yesus di dalam Yesaya 53:7, Dia dianiaya, tetapi Dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulut-Nya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, Ia tidak membuka mulut-Nya. Ada sebuah kerelaan di sini, “Ia membiarkan diri-Nya.” Meski kita tahu bahwa Tuhan Yesus memiliki kekuatan untuk memanggil ribuan malaikat menolong-Nya saat ditangkap, tetapi itu tidak dilakukan-Nya. Di sini Dia menjadi “Subjek yang berkorban”. Sang korban itu secara aktif dan bebas mengorbankan diri-Nya demi orang lain. Ini suatu tindakan yang berbeda secara radikal.

Cerita apa yang kita hidupi? Thanos atau Yesus? Dalam Yohanes 15:12-13, Tuhan Yesus mendorong kita untuk hidup dalam kasih yang mengorbankan diri, seperti Dia sudah terlebih dahulu memberikannya kepada kita. “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.” Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya. Kita dipanggil untuk berkorban bagi yang lain. Berkorban di dalam kasih dan bukannya mengurbankan orang lain demi diri sendiri.

You Can Sacrifice and Not Love
Tema pengorbanan memang keren, tetapi menyimpan jebakan juga. Tema ini bisa membuat orang jahat pun terlihat cukup cute. Thanos meskipun mengorbankan orang lain, dia juga ada sisi berkorbannya juga lho. Dia sungguh-sungguh sayang sama Gamora dan dia rela, bahkan dengan air mata, mengurbankan Gamora demi keselamatan bersama. Dia sudah berkorban dengan tidak sedikit. Dia sudah kehilangan satu per satu pengikutnya yang paling setia. Ada yang beku menjadi es, terbelah, tertusuk, dan lain-lain. Thanos sudah berkorban banyak, dan pengorbanan ini dilakukan untuk kita semua. Namun, banyak orang masih menganggapnya penjahat. Bukankah kita yang menganggapnya orang jahat adalah orang-orang yang tega terhadap Thanos? Bukankah kita tidak sanggup melakukan pengorbanan seperti yang Thanos lakukan? Jika demikian, bukankah kita jauh lebih jahat dari Thanos dan apa hak kita mengatakannya jahat? 

Namun, kita perlu berhati-hati. Kita bisa jatuh kepada konsep self-sacrifice justifies the means. Banyak orang suka bersembunyi dari kesalahan yang dilakukan dengan kedok pengorbanan. Melegalisasi kesalahan ataupun keinginannya di balik kedok pengorbanan. Pengorbanan bisa menjelma menjadi semacam jalan pembenaran diri dan bukannya tindakan kasih. Kris Vallotton mengatakan, “You can sacrifice and not love. But you cannot love and not sacrifice.”

Namun di dalam 1 Korintus 13:3 dikatakan, “Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikit pun tidak ada faedahnya bagiku.” Pengorbanan tanpa kasih itu sangat mungkin muncul sebagai sisi gelap dari tindakan pelayanan kita. Berapa sering kita terlalu cepat menganggap pelayanan kita kepada orang lain sebagai tindakan penyelamatan yang memang pasti dibutuhkan serta tepat? Sebagai penolong, tentunya kita memosisikan diri sebagai pihak yang benar. Tetapi apakah selalu demikian kondisinya? Apa ga bisa terbalik, kalau sesungguhnya kita yang perlu ditolong dari keangkuhan diri sendiri?

Hal-hal seperti ini biasanya dialami oleh orang-orang atau kelompok orang yang melayani dalam modus superioritas. Orang Kristen zaman sekarang mungkin banyak yang menduduki kalangan masyarakat menengah ke atas, hidup di kota besar, jadi bos-bos di perusahaan, memiliki gereja besar, dan sebagainya. Cara pandang superioritas ini bisa menjelma menjadi sisi gelap dalam pelayanan yang dilakukan. Kita bisa cenderung menjadikan orang atau kelompok lain sebagai objek-objek belaka. Mereka menjadi kurban tindakan pelayanan kita. Jika begini, sebenarnya siapa yang kita layani? Orang lain atau superioritas diri sendiri?

Berapa sering kita sungguh-sungguh mendengarkan orang yang kita layani dan menjadikan mereka subjek yang setara? Apakah kita juga berani memosisikan diri sebagai yang ditolong? Orang lain sebagai penolong kita? Tuhan memerintahkan kita untuk saling mengasihi, dan ini memosisikan bahwa diri kita juga harus memiliki kerendahan hati untuk bisa dilayani oleh orang yang lain, dan bahkan dikritik atau dikoreksi di dalam kasih. Dengan demikian kita akan terus mengoreksi dan merefleksikan diri. Apakah pengorbanan yang saya lakukan sungguh-sungguh melayani orang lain? Atau justru melayani konsep atau rencana saya sendiri yang saya anggap superior dan pasti benar? Apakah pelayanan yang saya lakukan sebenarnya adalah ajang untuk melayani pernyataan ide diri saya sendiri? Apakah misi penyelamatan dunia kita kepada orang lain itu sungguh-sungguh menyelamatkan dunia ataukah hanya menyelamatkan gengsi dan pride diri kita yang sok hero, sok signifikan, sok superior? Kiranya Tuhan menolong kita untuk lebih peka mendengar jeritan orang lain dan berani membuka diri untuk terus dikoreksi oleh-Nya.

Di sisi lain, kita juga bisa terus menaruh diri di posisi korban, sehingga kita merasa diri pasti benar. Kitalah korban dari oknum-oknum yang superior dan kita bangga menjadi pemeran korban sehingga ada pihak superior yang bersalah. Jika demikian, sesungguhnya kita sedang menghidupi filsafat postmodern di dalam pelayanan kita. Kita memakai pola berpikir dekonstruksionisme untuk diri menjadi benar, suatu cara pembenaran melalui dekonstruksi yang lain. Hal yang sederhana sering kita lihat di dalam keseharian kita, kita kenal dengan istilah bully. Dengan mendekonstruksi yang lain, diri ini terlihat menjadi lebih baik, lebih benar, lebih kasihan daripada si pemeran superior itu. Sesungguhnya kita tidak ada bedanya dengan pemeran superior tersebut, bukankah pola ini juga ada pada Thanos? Bukankah Thanos sebenarnya juga adalah korban? Dia korban idealisme yang ada pada dirinya, sambil menangis dia HARUS mengurbankan Gamora yang sangat dia kasihi. Bukankah sisi ini yang kita lihat dari Thanos dan akhirnya menyimpulkan dia tidak jahat? Jadi bagaimana seharusnya kita hidup? 

Pada akhirnya kita harus sadar kalau kita dipanggil untuk setia kepada kebenaran Allah, berani tunduk di bawah kebenaran dan otoritas-Nya, serta rela dipakai Allah untuk membangun Kerajaan Allah melalui kebenaran-Nya, bukan kerajaan diri sambil mengatakannya untuk kemuliaan Allah. Jadi, pertanyaannya adalah etika kita berespons kepada apa atau siapa? Mari kita sekali lagi merenungkan etika hidup kita, apakah kita sesungguhnya sudah hidup merespons kepada Allah dan seturut dengan kehendak-Nya?

Senin, 25 Februari 2019

CINTA dan KOMITMEN



Bagi Tuhan, sebuah hubungan adalah inti yang harus dipertahankan untuk masa depan.
Komitmen adalah keberanian seseorang untuk dengan sadar mengikatkan diri dengan janji untuk mengerjakan sesuatu sampai masa depan.
Tak ada batasan waktu untuk sebuah komitmen. Batasan komitmen yang sesungguhnya adalah masa depan.
Ketika kita berbicara mengenai komitmen, berarti kita sedang membicarakan masa depan (selamanya, tanpa batasan periode tertentu).

Saya pernah membaca sebuah artikel yang menuliskan, “People changes, feeling changes, circumtance changes, but commitment to love someone forever is not a realistic commitment (manusia berpikir bahwa ia telah berubah, perasaannya berubah, keadaan pun berubah, maka adalah sesuatu yang wajar jika komitmen cinta tidak dipertahankan lagi). Cerai atau putus saja. Dan prinsip ini banyak dhidupi banyak orang. Inilah yang Tuhan tidak harapkan, Tuhan mempertahankan komitmen-Nya untuk terus mengasihi kita hingga beribu-ribu keturunan, tanpa terpengaruh perubahan dunia.

Prinsip komitmen, cinta adalah perubahan boleh terjadi, namun kasih dan komitmen harus tetap dipertahankan. Komitmen itu memang mudah untuk diucapkannya, namun tidak mudah dilakukan, untuk itu Tuhan memberikan prinsip-prinsip bagaimana kita untuk berkomitmen.

Dua Prinsip sudah saya sampaikan dalam video di atas, berbicara tentang CINTA dan KOMITMEN sebenarnya ada empat prinsip kebenaran Firman Tuhan yang mengajar kita dengan jelas untuk tetap memegang komitmen, sekalipun sesama, perasaan dan keadaan telah berubah, diantaranya:

1. Cinta tidak boleh didasari perasaan, Cinta harus didasari komitmen oleh prinsip-prinsip kebenaran Firman Tuhan.

Suami istri berkomitmen mencintai satu sama lain, orang tua dan anak berkomitmen mencintai satu sama lain.

2. Ekspresi cinta diwujudkan dalam bentuk kehadiran satu sama lain.
Dalam 1 Korintus 16:23a, “Kasih karunia Tuhan Yesus menyertai kamu.”
Kehadiran adalah obat bagi seluruh penyakit cinta, sehingga kehadiran jangan dianggap sepeleh, karena seseorang bisa masuk ke zona loneliness. Loneliness adalah seseorang yang kesepian, tetap merasa sepi meskipun ia berada ditengah keramaian). so, selalu sertai pasangan kita, cari tau segala yang ia rasa dan pikirkan. Ikut sertalah dalam lembah perjuangan, maka komitmen kita akan terjaga.

3. Cinta digambarkan dengan makna menyertai, hadir menemani, ikut ambil bagian seorang akan yang lain dengan menyelami pola pikir orang tersebut (empati). Tuhan mengasihi kita. Dia disebut Allah Immanuel. Tuhan ingin kita meyakini bahwa Dia senantiasa menyertai kita bagaimanapun keadaan kita. Kehadiran seseorang berperan penting dalam mempertahankan kasih, cinta dari sekarang hingga kekekalan kelak.

Kehadiran mengarah pada keberadaan secara fisik. Tuhan tidak sekedar hadir, tapi Dia menyertai dan menemani (ikut ambil bagian dalam keberadaan kita).

Penyertaan, bukan sekedar secara fisik, tapi penyertaan dalam proses, yang akan memberi kekuatan, sehingga orang tersebut dapat menang dan keluar dari permasalahannya.
Roma 12:15 berkata, “Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!” 

Titik masalah dari penyakit cinta adalah hal yang penting bagi kita menjadi hal yang tidak penting bagi orang lain, sehingga kita merasa tidak diperhatikan.

Misskom atau miss komunikasi menyebabkan kita merasa tidak memiliki seseorang yang ‘seperasaan’ dengan kita. Mari, belajarlah untuk masuk ke dunia orang yang kita cintai. Seandainya tidak ada orang yang hadir menyertai kita, namun kasih karunia Tuhan senantiasa menyertai kita, Tuhan tau cara berpikir kita, realita-realita dan pergumulan yang kita hadapi, dan Dia menemani kita).

(Kejadian 22:1-4) Komitmen cinta kita pada Tuhan, membuat kita memutuskan untuk konsisten dan rela repot untuk mencintai dalam membangun hubungan, hingga mencapai kekekalan (Yohanes 14:21).
Abraham menunjukkan komitmen cintanya pada Tuhan, ia mendengar dan melakukan segala yang Tuhan mau. Jika kita sudah berkomitmen untuk membangun cinta, maka miliki kerelaan untuk mau repot, karena tidak ada hubungan yang membuat kita tidak repot. Hadapilah kesulitan yang ada sebagai wujud konsistensi untuk mempertahankan komitmen.

3. Cinta harus diukur dengan prinsip kebenaran. Kita tidak boleh membiarkan perubahan perasaan membunuh konsistensi komitmen cinta kita dalam sebuah hubungan.

Asumsi adalah rayap bagi sebuah hubungan. Asumsi merupakan prasangka berdasarkan perkiraan yang tidak mengandung angka absolut didalamnya, kira-kira. Asumsi bersifat mencelakakan (sesuatu yg negatif). Jika kita ingin mempertahankan hubungan sampai akhir, kita harus memerangi segala asumsi. Prinsip, nilai, dan asumsi mengendalikan kehidupan.

Semua orang yang membangun kehidupannya berdasarkan asumsi saja, ia sedang mencelakakan dirinya sendiri. Lebih baik bagi kita membangun hubungan baik melalui komunikasi yang jelas dengan pasangan kita daripada kita hidup dengan perasaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Asumsi menyebabkan seseorang kecewa, marah, dan meninggalkan Tuhan. Asumsi itu menjadi rayap yang mencelakakan jika tidak segera diputuskan. Orang yang terbiasa bermain asumsi kepada Tuhan menjadi akar untuk berasumsi pada orang lain. Cabutlah akarnya, maka kita juga akan berhenti menilai orang lain dengan asumsi.

4. Nilailah sesorang berdasarkan prinsip kebenaran Firman Tuhan.

Ada dua asumsi besar manusia kepada Tuhan, diantaranya:
(Mazmur 37:1-4, 8-9)

1. Mengapa Tuhan tidak adil? Orang yang tidak berpegang pada nilai kebenaran terlihat lebih mudah untuk meraih keberhasilan. Jangan kita marah kepada orang jahat, jangan kita iri hati kepada orang curang. Lihatlah akhir kehidupan mereka. Orang benar pada waktu-Nya akan mewarisi negeri dan Tuhan tau dan telah mengatur waktu-Nya.
2. Mencurigai bahwa Tuhan itu tidak nyata, Tuhan meninggalkan saya, kenapa saya begini dan begitu.

Senin, 28 Januari 2019

Apakah boleh Bercerai karena Zinah?

Pernikahan dan Perceraian
Matius 19:1-12

Terkait dengan hal yang sedang viral sekarang yaitu tentang Ahok atau BPT yang telah bercerai dan akan menikah lagi?
Sebelum menjawab apakah orang yang meceraikan istrinya karena zinah, boleh bercerai? Kita perlu bahas terlebih dahulu, apa yang Alkitab katakan tentang Pernikahan dan perceraian?

Ketika Yesus tiba di sebrang sungai Yordan, oang Farisi kembali menguji Yesus dengan pertanyaan-pertanyaan yang menjebak. (ayat 3).
Mengapa muncul pertanyaan itu terlepas dari tujuan mereka mencobai Yesus, sebenarnya pertanyaan itu muncul karena di dalam tradisi Yahudi, ada golongan pengikut Rabi Hillel dan Rabi Shammai. Perkataan-perkataan Hillel begitu berpengaruh tetapi dirasa kurang tegas bagi Shammai dan pengikutnya. Shammai adalah penerus Hillel dengan jiwa menyebarkan paham fundamentalisme Yahudi yang lebih ekstrem. Pengikut Hillel dan pengikut Shammai terus berdebat tentang banyak hal penting di dalam hukum orang Yahudi. Salah satu pokok perdebatan mereka adalah alasan perceraian. Di dalam menafsirkan Ulangan 24:1, pengikut Hillel percaya bahwa seorang pria boleh menceraikan istrinya dengan alasan apa pun. Mereka sangat longgar di dalam mengizinkan perceraian. Mereka menganggap bahwa pengertian “tidak senonoh” yang dikatakan dalam Ulangan 24:1 itu bisa berarti apa saja. Membakar roti kurang matang, atau terlalu matang pun dapat dijadikan alasan untuk perceraian! Kemungkinan besar mereka mendasarkan alasan perceraian kepada hal-hal yang umumnya terjadi di antara bangsa-bangsa dengan pengaruh Helenis, yaitu pengaruh budaya Yunani. Tetapi jika dia ingin menceraikan seseorang, harus ada surat cerai untuk membatalkan pernikahan yang telah terjadi, dan dia harus mengembalikan perempuan itu, beserta dengan harta keluarganya yang dipercayakan kepadanya sebagai warisan, kembali kepada ayahnya. Selain suami berhak menceraikan istri dengan berbagai alasan, istri pun boleh meninggalkan suaminya jika didapati bahwa suaminya bertindak tidak pantas di dalam pernikahan. Budaya ini merupakan budaya monogami tetapi dengan ikatan pernikahan yang sangat longgar. Kebiasaan budaya Yunani yang longgar dalam ikatan pernikahan ini membuat golongan Shammai bereaksi dengan memberikan peraturan yang lebih ketat.

Golongan Shammai berpendapat bahwa pernikahan adalah perjanjian yang sangat penting dan karena itu tidak seharusnya boleh dibatalkan dengan sembarangan. Suami hanya boleh menceraikan istrinya jikalau istrinya tidak setia kepada dia. Hanya alasan inilah yang diperbolehkan untuk terjadinya perceraian. Maka orang Farisi pun bertanya kepada Yesus, golongan manakah yang Yesus setujui? Ternyata di dalam ayat 4 Yesus tidak mau menyamakan diri-Nya dengan salah satu golongan ahli Taurat yang ada. Dia memiliki jawabannya sendiri tentang pernikahan. Jika golongan Hillel dan Shammai berdebat tentang Ulangan 24:1, maka Yesus mengambil ayat dari Kejadian 2:22-24. Menurut tradisi Yahudi, segala konsep yang ideal harus kembali kepada Kejadian 1 dan 2. Inilah konsep ideal sebelum manusia memberontak kepada Tuhan. Maka sebenarnya pernikahan pun harus kembali kepada Kejadian 1 dan 2. Berarti setiap perdebatan tentang perceraian dari para ahli Taurat gagal melihat Kejadian 1 dan 2. Mereka telah dikurung oleh tradisi perdebatan yang begitu lama sehingga mereka gagal melihat kesalahan mendasar dari dua golongan itu.
Pertanyaan, “apakah syarat-syarat seorang boleh menceraikan istrinya?” dibalas Yesus dengan pertanyaan, “apakah perceraian itu boleh?” Tuhan tidak menginginkan perceraian. Pernikahan adalah lembaga yang sangat penting yang Tuhan sendiri dirikan di dalam Kejadian 2. Tuhan memberkati mereka, laki-laki dan perempuan, dan mereka menjadi satu. Poligami tidak ada di dalam rencana Tuhan bagi manusia. Kawin-cerai juga tidak ada di dalam rencana Tuhan bagi manusia. Itulah sebabnya pernikahan harus dinilai berdasarkan standar Allah sebelum manusia jatuh ke dalam dosa.

Kejadian 2:24, menjadi dasar pernikahan bagi siapa pun di sepanjang sejarah. Mereka tidak lagi dua, melainkan satu. Inilah ayat yang menjadi dasar, bukan Ulangan 24:1. Ulangan 24:1 adalah peraturan untuk mengekang kekacauan akibat kejahatan dan kecemaran hidup manusia, bukan peraturan untuk sesuatu yang mendasar dan ideal. Tuhan tidak menginginkan perceraian. Tuhan membenci ketidaksetiaan. Tuhan tidak ingin pernikahan dilakukan tanpa adanya komitmen sehidup semati. Tuhan tidak ingin perjanjian dibatalkan dengan sembarangan. Hidup manusia harus dilatih di dalam kesetiaan kepada perjanjian. Itulah sebabnya Ulangan 24:1 tidak pernah bisa menjadi dasar pernikahan. Kejadian 2:24 adalah fondasi yang sejati. Orang Farisi dan ahli Taurat mengambil teks dari Kitab Suci dan memakainya sebagai bukti posisi mereka, tetapi bukti itu akhirnya bentur dengan bagian lain dari Kitab Suci. Yesus Kristus sebaliknya. Dia tidak mengutip ayat untuk mendukung posisinya. Dia membacakan ayat itu sesuai dengan maksud Allah di dalam Kitab Suci, sehingga dilihat dari seluruh Kitab Suci sekalipun, jawaban Yesus ini tidak bercacat. Satu suami untuk satu istri, dan satu istri untuk satu suami. Inilah kehendak Tuhan! Tuhan menginginkan dua orang yang menjadi pasangan suami istri untuk tidak pernah mempertimbangkan perceraian. Hanya kematian yang dapat memisahkan.

Pernikahan menjadi begitu penting karena dua hal. Yang pertama adalah pernikahan menjadi lambang perjanjian antara Allah dengan umat-Nya (Hos. 2:15-20). Ini adalah perjanjian yang sangat sakral dan penting. Begitu pentingnya perjanjian ini sehingga Allah mengikat diri-Nya dengan sumpah untuk menepati apa yang telah Dia janjikan (Kej. 22:16-18, Ibr. 6:13-18). Allah tidak akan memalingkan wajah-Nya dari perjanjian-Nya. Dia tidak akan berlaku tidak setia. Dia tidak akan meninggalkan dan membuang manusia. Dia tidak akan memberikan hati-Nya kepada yang lain. Itulah sebabnya pernikahan pun menuntut kesetiaan yang total dan sepenuh hati. Tidak ada yang boleh mempermainkan pernikahan. Setia, baik dari perkataan, tingkah laku, dan hati. Sebab sama seperti Tuhan sangat membenci pemberontakan umat-Nya yang mengabaikan perjanjian-Nya, demikian juga Dia membenci orang yang tidak setia terhadap pernikahan (Ibr. 13:4). Jangan alihkan hatimu kepada yang lain! Jangan alihkan perhatianmu kepada yang lain! Belajar setia terhadap pernikahan atau Tuhan yang akan menghajarmu dengan keras!

Hal kedua yang menjadikan pernikahan begitu penting adalah karena Tuhan memakai pernikahan untuk membuat gambar dan rupa Allah di bumi ini makin banyak dan memenuhi bumi. Tuhan mengatur sehingga manusia-manusia yang Dia ciptakan terjadi melalui relasi seksual dua orang manusia di dalam pernikahan. Relasi seksual begitu dalam dan intim karena melaluinya hidup seorang manusia yang baru diciptakan dan dilahirkan ke dalam dunia ini. Tidak ada relasi yang dibebankan tanggung jawab sedalam relasi seksual. Tidak ada relasi yang begitu penting sehingga seorang anak dilahirkan ke dalam dunia melaluinya. Apa yang terjadi jika pernikahan diabaikan dan tidak dihormati? Yang terjadi adalah perjanjian Allah dihina dan direndahkan. Selain itu seorang anak akan dilahirkan ke dalam dunia dengan orang tua yang saling tidak setia, saling menyakiti, saling menipu satu sama lain. Keberdosaan orang tua yang tidak setia kepada pernikahan, inilah yang menjadi pelajaran hidup yang didapatkan sang anak pertama kali. Maukah kita membiarkan hidup pernikahan kita menjadi rusak dan cemar seperti ini?

Tuhan Yesus lebih suka membahas tujuan Allah di dalam Kejadian 2 untuk membahas pernikahan ketimbang hal-hal apa yang menyebabkan orang boleh bercerai di dalam Ulangan 24. Daripada membahas apakah perceraian diperbolehkan atau tidak, Yesus ingin kita melihat apa tujuan manusia menikah. Bagaimana dengan pernikahan kita? Apakah mencerminkan keindahan perjanjian Allah dengan umat-Nya? Apakah masing-masing pihak belajar setia kepada perjanjian sama seperti Allah setia? Apakah pernikahan kita mencerminkan relasi yang pantas untuk membesarkan seorang anak? Apakah anak kita dapat melihat ayah dan ibunya dan bertumbuh di dalam kesetiaan dan takut akan Tuhan karena teladan yang kita berikan?

Singkatnya;
Dari penjelasan di atas tentang apakah boleh bercerai, saya simpulkan bahwa TIDAK BOLEH.
Apakah seseorang boleh menceraikan istrinya dengan alasan zinah, tidak boleh karena Allah tidak menginginan perceraian atau ketidaksetiaan.
Kenapa Yesus membaca  mengutip ayat Ul. 24:1 yang dibacakam Yesus dalam Matius 19:8-9, Sekali lagi Yesus bukan menyetuji perceraian boleh atau tidak, tapi membacakan alasan golongan Hillel dan golongan Shammai bahwa tidak masalah asal dengan alasan itu zinah, dan Yesus ingatkan kenapa Musa memberikan surat cerai? Karena ketegaran hati manusia, tapi bukan berarti boleh. Yesus sebenarnya mau bilang, pada dasar atau prinsipnya tidak boleh bercerai.

Bagaimana dengan BTP, bolehkah kawin lagi, secara hukum duniawi boleh, karena sudah cerai. Secara Alkitab, apakah boleh atau tidak, bahwa sesuai maksud dr pernyataan Yesus, bahwa dalam hal ini seseorang telah bercerai telah gagal dalam rumah tangga. Dan Alkitab mau bilang pada dasarnya tidak boleh, itu salah. Yesus sudah bilang, kenapa bisa cerai dan kawin lagi itu karena ketegaran hati manusia, dan semuanya pasti ada harga yang harus dibayar. Yesus mau bilang, semua kegagalan itu karena tidak lagi kembali pada tujuan awal pernikahan seperti yang Tuhan inginkan, yaitu menjadi satu daging dan tidak boleh diceraikan. Alkitab pu. Bilang, Musa menuliskan surat cerai karena ketegaran hati manusia dan Musa tidak sedang menggeser prinsip awal pernikahan yang Tuhan kehendaki, sehingga kita jangan habiskan waktu untuk dalam berdebat boleh atau tidak. Tetapi kembali melihat apa dasar pernikahan dan apa tujuannya. Semua kegagalan yang ada itu terjadi karena kita tidak lagi hidup pada prinsip yang Tuhan telah tetapkan. Thanks and God bless

Minggu, 06 Januari 2019

THE WHOLE OF TRUTH

Ridho Daily Faith,

Berapa banyak dari kita yang mengerti istilah-istilah berikut: secular humanism, scientism, pluralism, moral relativism, hedonism, pantheism, dan atheism? Adalah baik jika kita mengerti semua istilah -isme tersebut, tetapi saya yakin mayoritas tidak memahami penuh semua istilah-istilah keren itu. Meskipun kebanyakan orang tidak mengerti, saya juga yakin bahwa kehidupan kita, terutama kaum muda zaman sekarang, sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai tersebut. Bagaimana tidak, karena ini adalah nilai-nilai yang selalu dibawa dalam media sosial yang kita nikmati hari ini. Misalnya, banyak iklan-iklan yang kita lihat, maupun film yang kita tonton, selalu mengatakan, “ikuti kata hatimu”, atau “yang penting enjoy”. Sehingga tidak heran jika anak muda zaman sekarang hanya mau sesuatu asalkan itu menyenangkan hatinya, termasuk dalam kegiatan bergereja: yang penting musiknya enak, khotbahnya menghibur, tetapi isinya seperti apa, tidak terlalu penting. Kita disuruh untuk mengikuti kata hati kita, tetapi Alkitab justru berkata bahwa hati manusia itu begitu licik (Yer. 17:9). Sangat bertolak belakang, bukan?

Namun, mengapa nilai-nilai yang dijunjung oleh zaman sekarang begitu menarik bagi manusia? Salah satu alasan adalah karena ide-ide tersebut mengandung sebagian dari kebenaran, tetapi mereka anggap hal itu sebagai kebenaran yang utuh. Misalnya, hedonisme mengajarkan kita untuk menikmati hal-hal apa saja yang menyenangkan kita. Memang benar manusia diciptakan dengan kemampuan untuk menikmati hidup, tetapi Alkitab mengajarkan bahwa kenikmatan tertinggi yang harus manusia kejar adalah kenikmatan dalam Tuhan (What is the chief end of man? The chief end of man is to glorify God and enjoy Him forever). Dalam hal ini hedonisme memberhalakan kenikmatan di luar Tuhan. Contoh lain adalah pluralisme yang mengajarkan kita agar kita bersifat toleran dan berlaku inklusif terhadap sesama, meskipun mereka mempunyai keyakinan yang berbeda (ironisnya ada kaum pluralis sendiri yang sangat tidak toleran dan inklusif terhadap nilai-nilai Kekristenan). Namun sering kali kebablasan, sampai-sampai semua tindakan keberdosaan pun juga harus ditoleransi dan diterima supaya ada kesatuan dan tidak ada perpecahan. Menerima perbedaan itu baik karena Alkitab juga mengajarkan konsep unity in diversity, tetapi kesatuan yang sejati hanya terdapat di dalam Yesus Kristus. Pluralisme kebablasan karena ia memberhalakan perbedaan demi kesatuan yang palsu.

Lalu, bagaimana kita sebagai orang Kristen merespons tantangan tersebut? Orang-orang melihat nilai-nilai tersebut sebagai realitas kebenaran yang utuh, padahal bukan. Oleh sebab itu, kita harus bisa menunjukkan kepada mereka seperti apa kebenaran yang utuh itu. Namun, bagaimana kita bisa menunjukkannya? Minimal ada 3 hal yang bisa kita lakukan sebagai pemuda Kristen: mengkritik nilai-nilai tersebut secara intelektual, berjalan bersama mereka, dan mendemonstrasikan nilai-nilai Kekristenan yang utuh melalui kehidupan kita sehari-hari. Secara singkat, yang pertama adalah kita harus bisa memberikan penilaian yang Alkitabiah: mengapa nilai-nilai yang ditawarkan oleh dunia itu salah dan Kekristenan adalah yang benar. Namun, respons intelektual sendiri tidak selalu cukup karena kita perlu berempati juga untuk mengerti kesulitan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, dengan berjalan bersama mereka kita berdoa agar mereka tahu bahwa kita ada di tengah-tengah mereka dan sungguh-sungguh mengasihi mereka. Ketiga, keseluruhan hidup ini, bahkan sampai hal yang terkecil sekali pun seperti makan dan minum, harus kita jalankan sesuai dengan prinsip firman Tuhan agar mereka dapat melihat dan merasakan keindahan, serta harapan yang ditawarkan oleh Kekristenan.

Mari kita terus meminta kekuatan kepada Tuhan agar kita semakin dilayakkan untuk membawa nama-Nya dalam hidup ini. Kita berdoa agar Gereja Tuhan boleh membawa terang dan harapan bagi dunia yang gelap ini. Semoga kita menjadi kaum pemuda yang bisa memberikan intellectual discourse, loving personal touch, and existential answers untuk dunia ini.

Soli Deo Gloria

Salam,

Ridho Daily Faith

Minggu, 18 November 2018

Rahasia Dibalik kata "TERSERAH" seorang wanita?

Bagi para cowok2..gue pengen kasih tau kalian 10 arti kata "TERSERAH"...??

Pernah dengar atau alami kata-kata atau hal seperti ini?

Mau makan apa, Yang?”
“Terserah.”

“Habis ini mau ke mana?”
“Terserah.”

Konon, kata yang satu ini jadi penyebab utama kenapa banyak cowok panas dingin dan naik tensi. Secara harafiah sih ‘Terserah’ itu artinya ngikut aja. Mau dibawa ke mana aja hayuk, mau makan apa aja oke. Tapi yah..bukan cewek namanya kalau gak ribet. Terserah itu bukan selalu berarti terserah. Banyak arti turunannya yang mesti para cowok pahami.

Demi hidup yang lebih tenang, pengen tahu gak apa arti kata sebenarnya dari “Terserah?”
Yukkss...baca sampai selesai yaa guyss..

1. Kok kamu gak peka sih? Harusnya kamu tau aku pengen makan apa….

Aku mau makan apa, harusnya kamu tahu.
Aku mau makan apa, harusnya kamu tahu…
Kalau cewek bilang ‘Terserah’ pas ditanya mau makan di mana, maka ini artinya.

Terserah di sini bukan berarti dia mau dibawa ke mana aja. Atau dia pasrah sama pilihan restoranmu. Dia malah berharap kamu tahu apa yang dia mau. Tapi dia gak perlu repot-repot ngomong, gitu…

2. Kenapa nanya terus deh? Ribet amat!

Kenapa nanya mulu sih? Ribet amaat
Kenapa nanya mulu sih? Ribet amaat...

Makan pasta aja ya, Say?
Terserah!

Apa Sate Padang?
Terserah..

Soto mau?
Terseraaaaahhhh!


Gak tahu apa aku lagi kesel? Jalan aja deh! Nanti juga kalau kamu salah pilih aku ngambek.

3. Kamu lagi ngeselin. Aku males jawab

BEntar ya diq. Abang mati muda dulu
BEntar ya diq. Abang mati muda dulu

Biasanya cewek begini kalau lagi ngambek. Daripada capek jelasin panjang lebar, ya udah lah ya biar gampang jawab aja pakai “Terserah…”
*kemudian cowoknya mati muda*

4. Kalau kamu sayang aku, harusnya kamu gak ngelakuin itu

Kamu boleh pergi. Tapi aku ngambek!
Kamu boleh pergi. Tapi aku ngambek!

Passive-aggresive allert. Yeah, cewek emang kadang gengsi buat terang-terangan bilang perasaannya. Atau melarang kamu ngelakuin sesuatu. Contohnya aja nih, kamu ijin mau main ML (Mobile Legend) semaleman sama teman-teman. Dan cewekmu jawab….
“Terserah….”
INI UJIAN SAUDARA-SAUDARA! Kalau kamu gak mau ada drama setelahnya, mending pikirin lagi buat pergi…


5. Sebenarnya aku juga masih bingung mauku apa. Tapi yang jelas harus ngikutin kemauanku

Aku juga bingung. Tapi harus ngikutin kemauanku...
Aku juga bingung. Tapi harus ngikutin kemauanku…

Memanglah sedari dahulu cewek selalu benar. Dan cowok tertakdirkan salah.

6. Hiiiih. Nanya mulu. Baca pikiranku dong. Kan kita udah lama pacaraaan.

Mz baca pikiranku mz
Mz baca pikiranku mz

Mungkin semua cowok di dunia harus berkewajiban ikut kelas privat Belajar-membaca pikiran level advanced...hahaha

7. OK. Lakuin aja apa yang kamu mau. Tapi habis ini kita diem-dieman ya?
Terserah. Tapi habis ini aku diemin ya.
Terserah. Tapi habis ini aku diemin ya.
Waktu kamu kurang peka sama tanda-tanda kebetean cewekmu dan memilih pergi, biasanya sih hasil akhirnya kurang ngenakin.

“Sayang aku pergi futsal ya?”
“Hmmm…ya. Terserah.”

Jangan kaget kalau besoknya chat mu dianggurin, teleponmu gak diangkat, bahkan kamu dapat silent treatment waktu main ke rumahnya. Lain kali jangan langsung percaya kalau dia bilang ‘Terserah.” Lihatin dulu ekspresinya baek-baek.

8. Abort mission. Now. I SAID ABBORT MISSION
Nuff said. BEWARE
Nuff said. BEWARE
Enough said. Gak usah macem-macem.

9. Hmmmm….aku sih pengen lihat aja. Kamu lebih pilih aku atau (…………)
Kamu pilih dia ya? Hih. Yaudah
Kamu pilih dia ya? Hih. Yaudah

10. Kan aku udah bilang Terserah. Tapi ya gak Terserah-Terserah amat. Ngertiin aku dikit kenapa sih?

Setelah tahu 10 arti dari kata ‘Terserah” ini saya harap hidupmu jadi lebih tenang ya. Kalau cewek bilang Terserah jangan langsung percaya. Karena 1 kata itu bisa berjuta maknanya.
Firman Tuhan menasehatkan kita bahwa kita harus saling sepikir dan satu tujuan untuk memuliakan nama Tuhan. Roma 12:16-18, "Hendaklah kamu sehati sepikir dalam hidupmu bersama; janganlah kamu memikirkan perkara-perkara yang tinggi, tetapi arahkanlah dirimu kepada perkara-perkara yang sederhana. Janganlah menganggap dirimu pandai!
Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan; lakukanlah apa yang baik bagi semua orang! Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!"
Ayat ini memang sebuah nasehat dan sikap dan perilaku yang diharapkan dari Jemaat di Roma, jelas Paulus cukup mengetahui kebutuhan orang-orang percaya di Roma. Sekalipun sebagian besar dari nasihat-nasihatnya cocok untuk semua kelompok orang percaya, banyak dari nasihat-nasihat itu menunjukkan bahwa sang rasul memikirkan kelompok tertentu ketika menulis. Jangkauan dari nasihat-nasihat itu menakjubkan. Nasihat-nasihat itu menyentuh nyaris setiap segi kehidupan. Cara hidup Kristen adalah benar-benar menjadi orang Kristen dan bertindak sebagaimana seharusnya orang Kristen di setiap bidang kehidupan.
Namun, yang saya tekankan dalam hal ini ialah kasih yang tidak pura-pura, kasih yang terus terang dan tidak munafik, saling membangun bukan membesarkan egoisme dan maunya dihormati, tetapi saling melengkapi dan saling membangun antar sesama. Jangan saling membalas dendam tapi saling mengasihi, karena dendam memiliki dampak negatif bukan saja buat orang lain, tapi diri sendiri bahkan sebuah hubungan. So, mulailah berubah dari dirimu sendiri. Perubahan jangan menunggu perubahan dari orang lain, karena perubahan itu dimulai dari kesadaran diri dan dimulai dari dirimu sendiri. God bless you🙏





Sabtu, 11 Agustus 2018

TRUE FREEDOM

Di jaman digital seperti sekarang kesibukan manusia semakin meningkat. Waktu terus berputar tanpa disadari. Beban yang dipikul dari setiap permasalahan membuat otak terus bekerja tiada henti. Tekanan demi tekanan datang pada setiap manusia. Tidak ada seorangpun yang tidak menghadapi masalah. Beban pikiran yang sangat berat membuat manusia mencari jalan keluar untuk meringankan beban mereka. Hiburanpun dicari mulai dari hiburan untuk keluarga, jalan-jalan ke mall hingga mencari hiburan di malam hari. Tidak sedikit yang masuk ke dalam kehidupan malam, narkoba dll yang tentunya sangat merusak jiwa dan hanya membuat kita tidak terlepas dari kehampaan. Apa yang kita dapatkan hanyalah kenikmatan sesaat yang akan hilang ketika kembali kepada realita kehidupan. Kesenangan yang didapatkan tidak bisa melepaskan mereka dari tekanan yang dihadapi. Bahkan masalah menjadi lebih berat ketika mereka jatuh ke dalam dosa dengan terlibat pada obat-obatan terlarang, kecanduan minuman keras dll.Di jaman digital seperti sekarang kesibukan manusia semakin meningkat. Waktu terus berputar tanpa disadari. Beban yang dipikul dari setiap permasalahan membuat otak terus bekerja tiada henti. Tekanan demi tekanan datang pada setiap manusia. Tidak ada seorangpun yang tidak menghadapi masalah. Beban pikiran yang sangat berat membuat manusia mencari jalan keluar untuk meringankan beban mereka. Hiburanpun dicari mulai dari hiburan untuk keluarga, jalan-jalan ke mall hingga mencari hiburan di malam hari. Tidak sedikit yang masuk ke dalam kehidupan malam, narkoba dll yang tentunya sangat merusak jiwa dan hanya membuat kita tidak terlepas dari kehampaan. Apa yang kita dapatkan hanyalah kenikmatan sesaat yang akan hilang ketika kembali kepada realita kehidupan. Kesenangan yang didapatkan tidak bisa melepaskan mereka dari tekanan yang dihadapi. Bahkan masalah menjadi lebih berat ketika mereka jatuh ke dalam dosa dengan terlibat pada obat-obatan terlarang, kecanduan minuman keras dll.

Yesus mengingatkan kita bahwa hanya dalam Dialah kita akan mendapat kelegaan yang sejati.
Inikah beban yang sering kita alami;
1. Beban Rutinitas Agamawi
"Semua yang letih lesu dan berbeban berat" inilah yang dialami oleh orang-orang yang mengeluh akan beban hukum Taurat yang penuh dengan tata upacara, yang merupakan kuk yang tidak tertahankan, dan yang semakin dibuat lebih berat lagi dengan tradisi-tradisi nenek moyang (Luk. 11:46) dan Yesus memberikan solusi dengan mengundang kita untuk datang kepada-Nya. Marilah datang kepada Kristus, maka kita akan mendapat kelegaan. Ia datang untuk membebaskan gereja-Nya dari kuk ini, untuk menghapus beban berbagai aturan duniawi itu, dan untuk memperkenalkan cara menyembah yang lebih murni dan benar.

2. Beban Dosa
Melihat beban yang dialami manusia Ia berkata bahwa akan memberi kelegaan atas ketakutan yang ditimbulkan oleh dosa, dalam hati nurani yang damai teguh, kelegaan dari kuasa dosa, dalam jiwa yang teratur dan yang memerintah dirinya sendiri, kelegaan di dalam Allah, dan kepuasan jiwa, di dalam kasih-Nya (Mzm. 11:6-7). Hanya dengan merendahkan diri, mereka akan mendapatkan kelegaan dari Yesus serta sanggup memikul kuk dari-Nya (Matius 11:29-30). Kuk dari Tuhan adalah pengenalan yang benar akan Tuhan untuk mereka saksikan kepada sesama.

So, ketika kita ingin mendapat kelepasan dengan mencari kesenangan atau hiburan dari dunia, kita hanya akan mendapatkan ketenangan sesaat saja. Setelah itu beban berat akan datang kembali. Beban yang ada hanya akan hilang pada waktu kita mencari kesenangan dunia. Tidak ada yang dapat memberi kelepasan yang kekal selain Tuhan Yesus. Pada saat kita datang kepada Tuhan, Dia akan mencurahkan damai sejahtera-Nya bagi kita. Damai yang Tuhan berikan tidak dapat diberikan oleh dunia ini. “Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus” (Filipi 4:7).

Refleksi diri:
Apa kesombongan Anda? Agama? Kesalehan? Amal? Keaktifan melayani? Semuanya menjadi beban yang melelahkan hati bukan?
Put everything at the feet of Jesus. Let the word of God fill your heart and life!

Yesus mengingatkan kita bahwa hanya dalam Dialah kita akan mendapat kelegaan yang sejati.
Inikah beban yang sering kita alami;
1. Beban Rutinitas Agamawi
"Semua yang letih lesu dan berbeban berat" inilah yang dialami oleh orang-orang yang mengeluh akan beban hukum Taurat yang penuh dengan tata upacara, yang merupakan kuk yang tidak tertahankan, dan yang semakin dibuat lebih berat lagi dengan tradisi-tradisi nenek moyang (Luk. 11:46) dan Yesus memberikan solusi dengan mengundang kita untuk datang kepada-Nya. Marilah datang kepada Kristus, maka kita akan mendapat kelegaan. Ia datang untuk membebaskan gereja-Nya dari kuk ini, untuk menghapus beban berbagai aturan duniawi itu, dan untuk memperkenalkan cara menyembah yang lebih murni dan benar.

2. Beban Dosa
Melihat beban yang dialami manusia Ia berkata bahwa akan memberi kelegaan atas ketakutan yang ditimbulkan oleh dosa, dalam hati nurani yang damai teguh, kelegaan dari kuasa dosa, dalam jiwa yang teratur dan yang memerintah dirinya sendiri, kelegaan di dalam Allah, dan kepuasan jiwa, di dalam kasih-Nya (Mzm. 11:6-7). Hanya dengan merendahkan diri, mereka akan mendapatkan kelegaan dari Yesus serta sanggup memikul kuk dari-Nya (Matius 11:29-30). Kuk dari Tuhan adalah pengenalan yang benar akan Tuhan untuk mereka saksikan kepada sesama.

So, ketika kita ingin mendapat kelepasan dengan mencari kesenangan atau hiburan dari dunia, kita hanya akan mendapatkan ketenangan sesaat saja. Setelah itu beban berat akan datang kembali. Beban yang ada hanya akan hilang pada waktu kita mencari kesenangan dunia. Tidak ada yang dapat memberi kelepasan yang kekal selain Tuhan Yesus. Pada saat kita datang kepada Tuhan, Dia akan mencurahkan damai sejahtera-Nya bagi kita. Damai yang Tuhan berikan tidak dapat diberikan oleh dunia ini. “Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus” (Filipi 4:7).

Refleksi diri:
Apa kesombongan Anda? Agama? Kesalehan? Amal? Keaktifan melayani? Semuanya menjadi beban yang melelahkan hati bukan?
Put everything at the feet of Jesus. Let the word of God fill your heart and life!

Ridho Daily Faith by Ridho Musa Jr

Selasa, 24 Juli 2018

SPEAKING IN TONGUE

BAHASA LIDAH (BAHASA ROH) ATAU SPEAKING IN TONGUE

Karunia berbahasa roh atau bahasa lidah (speaking in tongue, di dalam terjemahan Inggrisnya), merupakan salah satu karunia yang sering kali menjadi perdebatan sampai saat ini. Selain itu karunia ini juga sering dipandang sebagai karunia yang lebih istimewa daripada karunia lainnya. Seakan-akan ada satu kebanggaan tersendiri jika memiliki karunia tersebut. Salah satu atau dua alasan yang sering dikemukakan adalah, “kalau kita berbahasa roh, kita berkomunikasi dengan Tuhan, tidak seorang pun yang tahu apa yang kita ucapkan (termasuk setan atau iblis), karena itu bersifat rahasia” atau “waktu kita berbahasa roh kita sedang membangun diri kita dengan Tuhan”.

Sekarang mari kita perhatikan apa yang diajarkan Alkitab mengenai bahasa roh. Jika kita hanya melihat di dalam, 1 Korintus 14:2, “Siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, tidak berkata-kata kepada manusia, tetapi kepada Allah. Sebab tidak ada seorang pun yang mengerti bahasanya; oleh Roh ia mengucapkan hal-hal yang rahasia” dan di 1 Korintus 14:4, “Siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, ia membangun dirinya sendiri, tetapi siapa yang bernubuat, ia membangun Jemaat”, maka sepertinya tidak ada yang salah dengan jawaban di atas. Sayangnya Alkitab tidak berhenti di 1 Korintus 14:2 dan 4 saja, Alkitab justru memberitahukan kepada kita, bahwa apa yang kita katakan sebagai bahasa yang tidak dimengerti seorang pun dan membangun diri tersebut, sesungguhnya harus menjadi bahasa yang dimengerti dan membangun jemaat.

Di dalam 1 Korintus 14:5 dikatakan, “Aku suka, supaya kamu semua berkata-kata dengan bahasa roh, tetapi lebih dari pada itu, supaya kamu bernubuat. Sebab orang yang bernubuat lebih berharga dari pada orang yang berkata-kata dengan bahasa roh, kecuali kalau orang itu juga menafsirkannya, sehingga Jemaat dapat dibangun”. Di sini rasul Paulus mau memberitahukan kepada kita, bahwa karunia berbahasa roh bukanlah karunia yang hanya digunakan untuk membangun diri dan bersifat rahasia, seperti yang selama ini diajarkan di beberapa gereja. Karunia ini juga merupakan karunia yang tidak bersifat rahasia, serta dapat membangun jemaat melalui adanya penafsiran terhadap bahasa roh. Di sini kita melihat dari yang bersifat rahasia menjadi tidak bersifat rahasia. Dari yang membangun diri menjadi membangun jemaat.

Praktik yang terjadi pada saat ini adalah di dalam pertemuan jemaat (yang dalam konteks hari ini dapat dikatakan sebagai sebuah ibadah, persekutuan, ataupun kelompok kecil), orang-orang yang mengaku mendapatkan karunia ini justru menggunakannya tanpa ada yang menafsirkan. Seakan-akan semuanya hanya berfokus untuk membangun dirinya sendiri dan bukan membangun jemaat. Akibatnya ketika masuk orang-orang luar atau orang yang tidak beriman, maka mereka akan berkata bahwa orang-orang tersebut gila, kata Paulus (1Kor. 14:23).

Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan apa yang telah Alkitab ajarkan. Paulus mengatakan di dalam pertemuan jemaat, jika ada orang yang berkata-kata dalam bahasa roh biarlah dua atau sebanyak-banyaknya tiga orang saja. Selain itu, orang-orang tersebut harus bergantian di dalam berbahasa roh dan harus ada yang menafsirkan. Jika tidak, maka mereka harus berdiam diri (1Kor. 14:27, 28), artinya setiap orang yang diberikan karunia berbahasa roh harus mampu menahan dirinya untuk tidak berbahasa roh jika tidak ada yang menafsirkan. Mereka harus mampu menggunakan karunia itu untuk membangun jemaat ketika berada dalam pertemuan jemaat. Selain itu, prinsip ini juga berarti adanya keteraturan dalam pertemuan jemaat. Adanya saling menghormati dan saling memahami antara yang satu dengan yang lainnya.

Tentunya ini bukan berarti kita tidak boleh membangun diri kita sendiri, karena ada saatnya kita perlu membangun diri, misalnya saat teduh, memuji Tuhan secara pribadi, atau berdoa untuk pertumbuhan rohani kita. Akan tetapi jika kita hanya membangun diri sendiri dan tidak menjadi berkat bagi orang lain, bukankah kita bersifat seperti kekanak-kanakan.1

Melalui artikel ini, mari kita sekali lagi merenungkan bagaimana seharusnya sebuah karunia digunakan. Kita percaya bahwa karunia itu adalah pemberian Allah dan diberikan dengan maksud untuk membangun jemaat-Nya. Mari kita kembali kepada apa yang Alkitab ajarkan, sehingga kita tidak terus mengulangi kesalahan yang sama, yang terjadi pada jemaat di Korintus. Biarlah kita boleh belajar menggunakan setiap karunia yang Tuhan berikan dengan benar sesuai dengan maksud dan tujuan Sang Pemberi Karunia.